Sunday, June 29, 2003
Kita tak punya hak untuk bersaksi...

Di Aceh, dua kuburan massal ditemukan lagi. Pada penggalian pertama diangkat 12 kerangka di Kampung Cuci, dan 8 lagi ditemukan di Krueng Pase. Keduanya di Aceh Tengah. Gambarnya baru sempat kulihat di APTN. Mereka --yang sudah jadi kerangka itu-- tidak bisa lagi bersaksi atas penderitaan yang mereka alami. Hanya diam.

Sabtu siang kemarin, aku wawancara dengan Pak Zainuri Lubis , humas Mabes Polri. Kata Pak Zainuri, "mereka itu adalah korban-korban kekejaman GAM (beliau menyebutnya GSBA-Gerakan Separatis Bersenjata Aceh-- mereka memang punya terminologi tersendiri untuk menyebut kelompok-kelompok tertentu...), dengan penekanan pada kalimat "sebelum operasi darurat militer diberlakukan."

Beritanya naik tadi di program Berita Pagi, jadi headline. Maka selesailah tugasku sebagai wartawan spot. Tapi sebagai manusia, masih saja tersisa satu pertanyaan di kepalaku, bukan pada siapa yang sesungguhnya berhak untuk melakukan penggalian itu, apakah Polri atau TNI sebagai penguasa darurat militer?
Hanya sebuah pertanyaan kecil, dan mungkin bodoh kedengaran: Siapa yang telah tega menguburkan mereka secara tidak layak seperti itu, dan dengan tangan terikat pula..?



posted @ 8:34 PM

Friday, June 27, 2003
Lagi, aku membuat ibuku sedih


Seharusnya tidak perlu terjadi, toh aku bisa menahan untuk tidak mengatakannya.
Tapi kukatakan juga! Padahal aku sendiri tidak yakin pada apa yang akan kulakukan nanti.
Dulu, waktu memutuskan untuk memilih program studi jurnalistik di jurusanku, ibuku sempat mengingatkan; "Sebelah kakimu sudah di neraka, Zan!" Artinya tinggal sebelah lagi, maka lengkaplah kehancuranku.
Ibu memang percaya pada apa pun pilihanku, tapi --seperti yang selalu tersirat dari kata-katanya-- Ibu juga tidak pernah sepenuhnya yakin pada pikiran-pikiranku. Menjadi jurnalis mesti jujur, dan ibu tidak terlalu yakin pada kejujuranku.
Sering aku sendiri mengukur-ukur, seberapa jujur aku sebenarnya. Dan tak pernah kutemukan grafik memuaskan yang membuatku bisa menghibur diri.
Aku mungkin tidak cocok dengan pekerjaan ini. Pekerjaan yang mendewakan kebenaran melalui kata dan tulisan, dan kepada banyak orang dia mesti berpihak.
Itu artinya keberanian. Itu artinya kejujuran.
Sedang aku? Pada diri sendiri pun kadang aku berbohong. Seperti misalnya apa aku benar-benar mencintai pekerjaan ini? Apa situasi ini benar-benar menyenangkan bagiku? Argh!!!
Aku tahu, tak ada jawaban pasti.
Maka kuputuskan untuk mengatakan pada ibuku tentang niatku untuk resign....
Kali ini beliau tidak banyak bicara. Hanya mengingatkanku saja, pada apa yang pernah dipesankannya dulu.
Bunda, aku bukannya tidak bisa jujur. Tapi dalam dunia yang hanya kebohongan yang bisa kita beli murah... apalah yang bisa kulakukan dengan tangan kecil ini?
Maafkan, Bunda, tapi aku benar-benar lelah...


posted @ 7:41 PM

Saturday, June 21, 2003

LELAH LAHIR BATIN!!!

posted @ 8:25 PM

Friday, June 20, 2003
Hari ini Mbak Ami dikirim ke Aceh. Meliput perang yang belum juga selesai itu.
Semoga senantiasa terlindungi, Mbak.
Dont worry, be happy... di sana juga bumi Allah!

posted @ 12:23 AM

Pak Ong

"Cari Pak Ong ya ?" Seorang pemuda menyapa kami sebelum kami sempat turun dari mobil. Kami takjub, tapi segera maklum, kalau yang kesasar ke sini pastilah mencari Pak Ong.
"Tunggu sebentar ya, Mas…” Di dalam, pemuda itu –Hendri namanya—mempersilahkan kami duduk dan tak lupa menawari minum.
Ditinggal seperti itu memberi kami kesempatan untuk melihat-lihat. Rumah Pak Ong sangat artistik, sekelilingnya dinding tembok yang dibuat seperti belum diplester. Ruang tamunya langsung bersatu dengan halaman. Di sebelahnya ada kolam ikan. Cahaya dari lampu yang sengaja dibuat remang-remang memantul di permukaan kolam. Indah sekali.
Ada sepasang patung dewa-dewi (?) dalam kepercayaan Cina. Empat keramik tanah liat yang disusun menampilkan gambar kepala kuda tergantung di dinding.

Tak lama Pak Ong keluar, beliau duduk di atas kursi roda yang didorong Hendri. Serangan stroke dua tahun lalu telah membuatnya menjadi tergantung pada orang lain.
Dia menyapa kami duluan dengan bicaranya terbata-bata dan tidak jelas. Tapi dapat kupahami. Jika aku tidak salah, Pak Ong bilang seperti ini:
“Itu Hendri,” sambil menunjuk pembantunya. “Nanti dia juga dishoting. Anjing-anjing saya juga.” Di sekitar kami memang berkeliaran beberapa anak anjing kecil. Lucu-lucu.

Ong Hok Ham, sejarawan hebat itu, telah menjalani keniscayaan alam, bahwa semua orang pada siklus kehidupannya suatu ketika nanti akan kembali menjadi bayi, jika dia beruntung bisa mencapainya.

Pak Ong mungkin mengira kami datang untuk membuat profil panjang tentang dirinya. Kelihatan kalau dia sudah mempersiapkan diri sejak tadi. Memakai baju batik, bersepatu, dan membawa handuk merah kecil yang digunakannya menyeka air liur yang sering meleleh tanpa sadar. Tubuh tua itu juga bergetar setiap kali mencoba bergerak. Tapi ingatannya masih kuat, seperti ketika menyebut nama Hatta di KMB.

Kami mengunjungi Pak Ong untuk sebuah wawancara singkat. Beberapa hari ini sebuah isu santer dibicarakan orang, mengenai utang Indonesia kepada Belanda di masa lalu. Jumlahnya 600 juta gulden. Dan kami meminta seorang Ong Hok Ham untuk bicara tentang itu.

Pak Ong, suaramu parau tidak jelas kami tangkap. Tapi kami yakin Pak Ong akan bilang, “Kembalikan sesuatu itu pada yang berhak.”

Entah. Rasanya kami tiba-tiba malu pada nasionalisme kami. Mudah-mudahan kami salah…


posted @ 12:16 AM

Thursday, June 19, 2003
Rumah Kami

Tadi malam aku nelpon ke ibuku di Bone, dan dapat kabar kalau tempat kami baru saja dilanda angin puyuh. Kata ibuku, rumah-rumah tetangga banyak yang rusak. Tapi rumah kami, alhamdulillah, tidak mengalami kerusakan berarti. Hanya satu lembar atap seng saja yang terbang entah kemana…

Kejadiannya malam hari sekitar jam sebelasan, dan ini pertama kali terjadi di kampungku. Keluarga kami bukan keluarga yang percaya pada hal-hal tahayul, tapi menurut ibuku siang hari sebelum kejadian, seorang wanita tua peminta-minta tiba-tiba muncul di sekitar rumah kami. Oleh ibuku wanita tua itu diberi uang ala kadarnya.

Sempat ibuku menyinggung cerita di masa lalu tentang seorang pengelana yang tiba-tiba muncul di sebuah kampung. Aku ingat cerita itu. Pengelana itu kehausan dan kelaparan, tapi seisi kampung malah memperlakukannya tidak adil. Tak ada yang memberinya minum dan makanan, kecuali seorang gadis kecil yang tinggal di sebuah gubuk. Gadis kecil itu memberinya minum dari gelas tempurung, karena memang hanya itulah yang dimilikinya. Pengelana itu kemudian pergi setelah mengucapkan terima kasih. Bersamaan dengan kepergiannya, kampung itu tiba-tiba terendam air, dan tenggelam. Kecuali satu rumah; rumah gadis kecil itu.

Aku tidak bermaksud untuk ujub menyamakan kasus kami dengan gadis kecil dalam cerita itu. Tapi bagiku, seorang yang teraniaya sudah seharusnya ditolong. Dalam Islam, orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin dianggap sebagai orang yang mendustakan agama. Naudzubillah.

Terlepas dari itu semua, bencana itu adalah peringatan bagi kita semua. Bahwa kita sebenarnya bukan apa-apa di tengah semesta maha luas ini. Kita tak lebih dari selembar kertas tisu, atau debu. Di hadapan Sang Khalik, kita ini apalah...


posted @ 10:40 PM

Wednesday, June 18, 2003
"Diabaikan..."


Sore-sore berangkat dari rumah, aku sudah membayangkan peristiwa apa lagi yang akan kutemui nanti. Pengedar putaw yang ditembak --seperti malam sebelumnya--, pencabulan, pengeroyokan, perkosaan, pencurian, atau pembunuhan?
Tapi ketika berangkat dari kantor, kami tertawa. Malam ini kami ditugaskan meliput berita gosip! Kantor kosong dan yang ada cuma kami. Maka jadilah kami meluncur ke sebuah rumah mewah di kawasan Cibubur.

"Maaf, Mbak... terlambat. Sudah lama ya nunggunya?"
Dia tersenyum, seperti memaklumi kesalahan kami yang seharusnya tiba tepat waktu. Tanpa banyak basa-basi, dia kemudian bergegas membuka pintu rumahnya yang berlapis-lapis.

Seorang mantan model, pemain sinetron, ibu dua anak yang masih kecil. Dia memamerkan salah satu gadis kecilnya pada kami. "Umurnya sekarang sebelas bulan, dan sejak dia lahir baru sekali tuh bapaknya nengok dia..."
Dia selalu berusaha untuk kelihatan gembira dengan banyak tertawa. Meski kelihatan kalau dia sebenarnya sedih bukan main.

Seorang mantan model, pemain sinetron, ibu dua anak yang masih kecil. Besok dia diundang wawancara live di studio TV kami. Stasiun TV yang layarnya tempo hari menampilkan gambar suaminya, seorang atlit nasional terkenal, berjalan bersama dengan seorang gadis di suatu tempat entah di mana.

Tak ada yang paling menyakitkan bagi seorang perempuan selain perasaan diabaikan. Dia sedih tentu saja, seperti kami juga sedih karena harus "mengurusi" rumah tangga orang. Itu mestinya kerjaan infotaintment!

Malam itu seharusnya kami meliput berita kriminal.

posted @ 10:27 PM

Sunday, June 15, 2003
Di kafe kantor aku ketemu Mas Tomi, suaminya Mbak Helvy Tiana Rosa.
Lewat tengah malam aku dan Ewin sudah mau balik ke kost, sementara Mas Tomi baru datang buat tugas sebagai produser pagi. Sambil menunggui dia makan, kami ngobrol-ngobrol tentang FLP, dan juga tentang stasiun TV ini.

Bagi Mas Tomi mungkin itu hanya obrolan biasa-biasa saja, tapi bagiku itu kesempatan untuk mencari "pembenaran" pada sisa-sisa ideologi yang kubawa dari jauh. Dengan itu aku berharap bisa menemukan kesesuaian pada apa yang kulakoni selama ini.

Kami ngobrol tidak lama, tidak sampai satu jam. Selesai makan Mas Tomi pamit bertugas. Aku dan Ewin juga bergegas pulang karena besoknya mesti bangun pagi-pagi lagi. Jalanan sudah sepi, kendaraan hanya satu dua yang lewat. Jakarta betul-betul sunyi sekali di malam hari.
Mendekati tempat kost kami, aku teringat kembali pada obrolan tadi. Aku tiba-tiba saja merasa sangat konyol dan tolol, karena mempertahankan apa yang selama ini kuyakini.
I'm not an idealist anymore, I'm a bitter realist!


posted @ 5:56 PM